Wednesday, November 23, 2011

Kekhawatiran Israel Setelah Kemenangan Revolusi Mesir

Di hadapan muktamar Hersilia bidang Imunologi dan Keamanan Nasional Israel, Ketua Partai Kadima, partai oposisi Israel, Tzivi Livni, mengakui bahwa warga negaranya merasakan kekhawatiran dan ketakutan pada hari-hari ini, sebuah peristiwa sedang menerpa Israel yang tidak dirasakan mayoritas warga dunia, yaitu kegelisahan terkait peristiwa di Mesir dan Tunisia, mereka meyakini bahwa negaranya dikelilingi oleh musuh-musuh mereka.

Pengakuan Livni tersebut terjadi pada lima hari sebelum kemenangan revolusi Mesir, hal ini menegaskan bahwa pidato tersebut tentu berbeda sekiranya disampaikan setelah revolusi berakhir dan Presiden Hosni Mubarok mundur bersama wakilnya, Umar Sulaiman yang diharapkan Tel Aviv akan menggantikan Mubarak, namun ternyata tidak cukup hanya berharap bahwa mereka berupaya siang dan malam menyukseskan orang ini, dan bisa jadi menekan Mubarak supaya tidak mundur dan menyerahkan kewenangannya kepada Sulaiman, hal ini bisa menyelamatkan diri dan keluarganya serta asset kekayaannya dari penyitaan.

Livni menuduh rivalnya, Netanyahu bertanggung jawab atas vakumnya proses perdamaian, sementara itu Presiden Israel, Simon Peres menyatakan bahwa kerusuhan di Mesir dan Timur Tengah mengharuskan Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan untuk menciptakan perdamaian.

Di sini kita bisa katakana sekiranya pernyataan tersebut disampaikan setelah kemenangan revolusi, tentu sangat berbeda, kondisi setelah kemenangan tidak mungkin sama seperti sebelumnya. Sebab permainan perundingan tidak akan seperti dahulu, karena pasukan Mesir bagi Israel senantiasa menjadi ancaman, dokumen Wikileaks menyebutkan kekhawatiran Tel Aviv bahwa ideology keamanan pasukan Mesir masih menyebutkan bahwa Israel adalah musuh, meski telah ditandatangani perjanjian Camp David.

Sementara itu Netanyahu, memfokuskan selama beberapa pekan terakhir kepada revolusi Mesir akan pentingnya komitmen terhadap perjanjian Camp David, tetapi komitmen Kairo terhadap pasal-pasal perjanjian tidak meringankan keprihatinan Israel, sebab peran Mesir sangat terkait dengan Hosni Mubarak dan Umar Sulaiman, terutama setelah millennium baru, banyak kesepakatan diarahkan untuk mengamankan Israel, di antaranya mendukung pengganti Yaser Arafat.

Kembali kepada Ketua Kadima, dapat dipastikan bahwa selama beberapa decade terakhir, Israel tidak merasa nyaman akan eksistensinya, problematikanya mungkin berada pada proses perdamaian terutama terkait penguasaannya atas wilayah jajahan tahun 67.

Rezim Israel saat ini tidak mengijinkan selain itu, dan selaras dengan PLO dan Fatah yang terus menuntut Hamas untuk mengakui terhadap syarat kwartet untuk menerima pengakuan internasional dan supaya tidak dipandang beda oleh rakyat.

Para petinggi Israel dan juga pendukung mereka di Barat tidak bisa menafikan realitas ini, mereka mengakui bahwa rezim Israel saat ini mendapatkan perlindungan keamanan dan politik ketika kawasan berada pada situasi antara tidak berperang dan tidak berdamai. Namun dipastikan bahwa Israel terus menolak merelaisir keputusan internasional termasuk menolak pemulangan pengungsi Palestina yang berada di Beirut tahun 2002, dengan persetujuan pihak Palestina atas beberapa pasal perundingan, seperti pertukaran wilayah dengan membiarkan pemukiman yahudi di Tepi Barat, dan juga konsesi kota Al-Quds seperti berita yang dilansir Al-Jazeera.

Dalam konteks ini, terutama kondisi MEsir, warga Israel menganggap bahwa rezim Israel menjadi bagian penting penjaga mereka, namun dengan kelengserannya menjadikan Israel kehilangan salah satu pendukungnya.

Saat ini setelah peristiwa Tunisia dan Mesir, warga Israel mengetahui bahwa pintu telah terbuka di hadapan rakyat, dan ketika itu terjadi, maka semua wilayah jajahan 67 bisa kembali berpindah tangan kepada kalangan Arab, mayoritas umat Arab dan Islam tidak merasa puas saat ini, Israel menguasai 78 % wilayah Palestina, di samping konsesi yang diberikan perunding Palestina seperti yang telah disebutkan.

Dari sini, bahasa perjuangan hakiki akan menemui wajah baru, yaitu tanpa keraguan dan tanpa batas, apakan dengan partisipasi bangsa Arab langsung di medan tempur ataukah cukup dengan mendukung pilihan perlawanan bagi para pejuang Palestina dengan semua sarana dan dukungan.

Apabila kondisi kembali seperti yang diprediksikan, maka situasi akan berubah total, sejumlah rezim tidak bisa mengabaikan kehendak rakyatnya terkait hubungan dengan Negara penjajah, bahwa Negara-negara yang tidak berubah secara total akan terpaksa merubah sikapnya terkait blockade Palestina dan perlawanannya, dan merubah sikapnya terkait agenda perlawanan dan intimidasi terhadap mereka.

Maka kemudian seruan kembali ke meja perundingan dari pihak Israel mirip dengan permintaan tolong orang yang tenggelam, karena perundingan apapun tidak akan mencapai hasil yang bisa membawa kepada keamanan Israel dan stabilitasnya. Tidak hanya bentuk konsesi yang diinginkan dalam perdamaian seperti yang diberikan otoritas dan faksi Oslo, bahkan semua kebijakan internasional tidak akan ada kaitannya dengan logika rakyat Arab ketika mampu menumbangkan dictator, maka dengan ijin Allah akan terus berjalan meraih kesuksesan.

Tidak perlu bukti bahwa Israel mengetahui hal itu, hari-hari mendatang surat kabar Israel akan penuh dengan analisis yang menegaskan bahwa spiritual ini terlibat dalam situasi, tetapi kondisi saat ini membuktikan bahwa proses kemerdekaan telah dimulai, dan kemerdekaan dari tirani merupakan stasiun yang menegaskan bahwa umat ini akan mampu memerdekakan diri dari kotoran penjajah, mulai dari Palestina menuju Iraq sampai ke Afganistan.

Rakyat Tunisia telah memulai perjalanan ini, dan mereka lebih dahulu, tetapi revolusi Mesir akan terus menjadi tema utama pembebasan, sebab Mesir memiliki timbangan sendiri dalam sejarah, geografi dan demografi serta dalam kesadaran umat saat ini.
Share on :

0 comments:

 
© Copyright Panitia Hari Kiamat 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.