PROSES liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Oleh karenanya agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, “sama benarnya dan sama relatifnya”. Orang menyebutnya sebagai “pluralisme agama”.
Pluralisme, Gagasan Protestanistik
Paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism).
Jelas, faham liberalisme tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).
Ada pula doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan”. Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher.
Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama Dunia” yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.
Ada lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.
Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian’s Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).
Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini.
Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer.
Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya.
Ternyata, fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin ”di luar gereja tidak ada keselamatan”, hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.
Wabah Pluralisme dalam Islam
Dalam wacana pemikiran Islam, wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).
Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama.
Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Suatu ’prestasi’ yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.
Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau “kebenaran abadi”). Yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi di balik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihis-salam.
Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi.
Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai basis dari bangunan pemikirannya?
Saat ini wacana pluralisme agama modern muncul dengan berbagai trend dan bentuknya. Ini menggambarkan sebuah fakta secara telanjang bahwa betapa dominan dan hegemoniknya Barat, baik dari segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur. Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan adanya semacam “legitimasi relijius”, atau apa yang disebut Peter L Berger sebagai sacred canopy (tirai suci). Dan itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya, liberalisme.
Obsesi Barat ini kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun militer terhadap negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme. Semua harus mau bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan Amerika Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu. berlanjut di postingan kedua...
0 comments:
Post a Comment