Anda tahu permainan anak di Betawi yang gambarnya susunan kotak-kotak dengan puncaknya berbentuk setengah lingkaran? Ya yang itu. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan, namun kadang juga ada anak laki-laki. Adapun gambar yang dibentuk di atas tanah biasanya dengan berbentuk persegi empat (yang dinamakan rumah) dengan formasi 8 ditambah gunungan di bagian ujung.
Dinamakan engkle, karena permainan ini setiap pemain tidak harus melakukan engkle atau berjingkat (hopscotch) dengan satu kaki untuk melewati 7 bagian rumah dan mencapai puncaknya pada tangga ke 8 di atas lingkaran gunung.
Namun apakah anda tahu Engkle sebenarnya berasal dari pemujaan setan di peradaban Kuno lalu berkembang di Eropa Barat dengan istilah Sudamanda.
Annemari Schimel, pengkaji peradaban kuno, dalam buku terkenalnya Mysteries of Numbers (Oxford: 1994), menyatakan Sudamanda adalah permainan paganis dan mistik yang lahir dari peradaban Babilonia kuno, ketika Dewi Ishtar mengunjungi dunia rendah, dia harus menanggalakn sepotong pakaiannnya di tiap 7 pintu yang dilalui.
Dalam misteri-misteri Mithras, orang-orang yang benar-benar ahli akhirnya mencapai pintu ke 8 yang merupakan pintu cahaya dimana mereka harus telanjang, menanggalkan seluruh sifat materi, dan siap kembali ke dunia spiritual.
Tujuh tingkat ini pula lah yang menjadi inisiasi dasar konsep Kristen tentang 7 tempat penyucian dimana ia berasal dari pemujaan kepercayaan Mithras dan ide-ide kuno tentang pendakian manusia menuju langit-langit berbintang.
Konsep serupa juga ditemukan dalam pemujaan-pemujaan dukun di Siberia ketika sang dukun sering muncil dengan memiliki 7 irisan, dan dukun Samoyed tidak sadarkan diri selama 7 hari 7 malam sebelum dia mengemban tugasnya. Ia juga makan jamur berbintik 7 dan melakukan ritus-ritus yang berisikan angka 7.
Sebuah permainan anak seperti Sudamanda, lanjut Schimmel, datang ke Jerman dan Inggris melalui bala tentara romawi. Dalam permainan ini, seorang anak melompat melewati gambar seperti tanggah di atas tanah, dan tangga terakhir di kotak kedelapan disebut surga atau neraka.
Siapakah Dewi Ishtar?
Ishtar dalam konteks babilonia kuno adalah dewi kesuburan, cinta, perang, dan hubungan seksual. Dalam susunan masyarakat dewa Babilonia, ia adalah dewi perwujudan planet Venus. Penyembahan kepada Ishtar erat kaitannya dengan kesuburan. Selain kesuburan dalam konteks seksual, juga kesuburan dalam konteks bercocok tanam.
Ketika lamanya siang dan lamanya malam dalam 1 hari mulai sama, penduduk Mesopotamia memahami bahwa ini adalah tanda berakhirnya musim dingin dan awal musim panas. Musim ini disebut dengan musim semi. Ini merupakan tanda dimulainya waktu untuk bertani.
Adalah suatu tradisi dalam masyarakat paganisme di daerah Mesopotamia untuk menyembah menghadap ke timur, tempat matahari terbit, untuk penyembahan kepada dewa matahari, yaitu Baal dan juga menyembah kepada Ishtar untuk kesuburan tanah dan juga untuk kesuburan dalam praktek-praktek seksual. Penyembahan kepada Ishtar ini juga erat kaitannya dengan orgi.
Bagi peradaban kuno, bumi digambarkan betina sedangkan matahari adalah pejantannya. Dan Ishtar adalah perlambang dewi Bumi yang tertinggi kedudukannya. Di seluruh Asia Barat, Bunda yang agung dipuja dengan berbagai nama. Bahkan ketika bangsa Yunani menduduki Asia Kecil ada suatu ciri kuil tertentu untuk memuliakannya.
Bertrand Russel, dalam bukunya A History of Western Philosophy (Sejarah Filsafat Barat) (1945), menyatakan bahwa model dewi kesuburuan seperti Ishtar menyebar hampir di seluruh peradaban. Jika kita membaca sejarah Agama Kuno, inilah sebenarnya asal mula suatu dewi bangsa Ephesus yang biasa disebut Diana.
Kita juga mengenal Dewi Anat di Kanaan, lalu ada Isis di Mesir, Inana di Sumeria Kuno, Aphrodite di belahan Yunani, Devaki di India, Fortuna di Romawi, atau Shing Moo di China. Dari sini kemudian, mereka melakukan berbagai ritus-ritus penyembahan, termasuk Sudamanda yang masuk ke Indonesia dan dimainkan oleh anak-anak kita dengan istilah engkle.
Mengapa Islam Tidak Memainkan Sudamanda?
Jika mempelajari sejarah kuno, kita akan mendapatkan fakta bahwa peradaban-peradaban masa lampau pada umumnya selalu menafsirkan konteks alam gaib atau Tuhan dalam sudut kompleks.
Mereka kemudian membutuhkan sebuah bentuk untuk setidaknya menyederhanakan rumitnya alam gaib agar sedemikian rupa bisa mereka terima dengan nalar yang tentunya juga sederhana pada waktu itu.
Sudamanda adalah bagian dari bagaimana konteks alam gaib yang kompleks itu dapat disederhanakan lalu dilaksanakan. Dengan mengambil bentuk gambar, manusia akan lebih mudah menjalankan ritual dan praktik mereka dalam menyembah dewa-dewi paganis.
Tentu ini berbeda dalam agama kita, Islam. Sebab Allah dalam agama mulia ini, tidak perlu kita simbolkan menjadi sebuah berhala agar semua Umat Nabi Muhammad SAW percaya akan keesaan Allah.
Nabi Muhammad SAW, lelaki yang jenius itu, telah secara cerdasnya mengajak kita semua ke jalan tauhid dengan melakukan pembedaan atas Tuhan-tuhan palsu yang dibuat oleh Kaum Kafir Quraisy dalam bentuk berhala.
Oleh karenanya, alangkah wajar jika sisi Keislaman yang pertama-tama diperkenalkan oleh baginda kepada umatnya adalah Tauhid: sebuah pembedaan untuk melakukan identifikasi atas sesembahan lainnya. Inilah yang akan kita mengerti mengapa saat Nabi Muhammad SAW melakukan revolusi pembebasan Mekkah ia juga menghancurkan patung-patung.
Allah SWT sekalipun tidak terlihat oleh manusia secara wujud, tidak menjadikan hambaNya mengambil bentuk gambaran visual keberhalaan seperti kaum kafir Quraisy dengan bebatuannya. Dasar keimanan seorang muslim terhadap hal ghoib menjadikan Islam menampik ritus-ritus yang manusia buat-buat sendiri sendiri seperti kepercayaan Mithras dengan Sudamanda-nya.
Islam juga tidak mengenal Tuhan yang menurunkan rezeki jika pemeluknya membuatkan patung-patung dan memintakan kesuburan. Lihatlah surah Al Huud ayat enam, sebuah kalimat yang meruntuhkan klaim itu.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud : 6)
Allah juga menekankan sekalipun Ia tidak terlihat secara fisik, namun Ia Maha Mengetahui sebagai pemilik semesta alam semesta ini apa-apa saja yang terjadi di muka bumi. Di dalam surat Al-An'am ayat 59, Allah telah berfirman,
" Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
Inilah jawaban mengapa Islam tidak memainkan Sudamanda seperti bangsa Eropa dan Babilonia kuno. Allahua’lam
0 comments:
Post a Comment