Hingga kini masih banyak orang yang menganggap bahwa film hanyalah sebuah tontonan yang bersifat konsumsi untuk sekedar hiburan semata. Menganggap jika film hanyalah sarana untuk melenturkan otot-otot syaraf dari ketegangan menghadapi rutinitas harian. Dan tidak sedikit publik yang mengingkari bahwa sebuah film ternyata banyak menyimpan pesan-pesan yang ingin ditanamkan secara halus oleh produsen di bawah alam sadar para penonton.
Dalam membahas perfilman, pikiran kita akan ditarik secara paksa kepada industri raksasa perfilman dunia bernama “Hollywood”. Karena dunia telah mengakui betapa hebatnya mereka membuat adegan film dengan skala teknologi animasi yang utra-canggih. Tapi kini, harusnya kita mulai membuka mata bahwa hasil karya mereka tercipta bukan tanpa maksud, film yang mereka ciptakan bukan terlahir di atas awang-awang semata, dan skenario yang mereka garap tercipta bukan by accident tapi by-design.
Jika hal ini kita sepakati, maka yang harus kita ketahui selanjutnya adalah; siapa yang “mendesain” sebuah film? Siapa orang-orang yang berdiri di balik layar besar Hollywood? Apa tujuan mereka? Ambisi serta langkah apa yang mereka tempuh untuk mencapai tujuan tersebut?
Dari pembacaan ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan sederhana di atas melalui kacamata “X-Men First Class” yang merupakan salah satu “hasil karya” up-to-date yang cukup relevan untuk dijadikan batu pijakan guna memahami karya-karya Hollywood lainnya.
“X-Men First Class” adalah salah satu sub-tema terbaru di antara film X-Men lainnya semisal “X-Men The Last Stand” dan “X-Men the Origin: Wolverine” yang telah diproduksi tahun-tahun sebelumnya. Dalam film ini dikisahkan tentang awal-mula terbentuknya sebuah kumpulan Mutant di bawah naungan sekolah yang diasuh oleh Profesor X. Kisah X-Men sendiri berasal dari komik terbitan Marvel. Oleh karenanya, ketika diangkat ke layar lebar, 21st Fox Century harus menyertakan Marvel Entertainment dan Dune Entertainment sebagai mitra asosiasi guna menggarap film ini.
Dalam awal cerita, kita akan diperkenalkan dengan seorang anak kecil bernama Erik Lensherr dengan lokasi cerita di Polandia tahun 1944. Erik jua lah yang nantinya akan mengakhiri kisah dalam film ini. Boleh dikatakan, film ini secara garis besar ingin mengisahkan bagaimana lika-liku Erik dalam menjalani hidupnya. Rasa sedih, dendam, amarah dan ambisi yang ingin ia capai. Lantas, siapa sebenarnya Erik?
Jika mengikuti alur cerita, kita akan tahu bahwa Erik adalah Magneto Junior, hanya saja ini bukan yang akan kita bahas. Namun pembahasan kita terkait pesan-pesan tersembunyi yang diperankan oleh Erik dan lakon-lakon lainnya baik itu pesan berupa ucapan, kalimat, tindakan, maupun simbol.
Belum sampai dua menit, anda akan diperlihatkan sebuah simbol yang terdapat pada baju yang dipakai Erik, yang tentunya kita semua telah mengenal baik simbol ini. Ya, itu adalah logo heksagram, logo bintang David yang telah menjadi plakat resmi Zionisme Internasional. Sebuah simbol resmi bendera Israel. Simbol tersebut seolah menandakan bahwa dalam cerita ini, pergerakan Zionisme diperankan oleh Erik.
Perlu diketahui juga, bahwa Erik dan keluarganya dalam film ini dikisahkan sebagai tawanan Nazi, dan itu berhubungan erat dengan cerita konyol “Holocaust” dimana para Zionis berupaya untuk mengais simpati dunia bahwa mereka adalah kaum tertindas yang berhak “merebut” tanah Palestina. Namun tentu saja ini logika keliru, karena yang pernah menindas Israel adalah Jerman dan bukan Palestina.
Baik, kita “pause” adegan Erik sampai di sini, lalu kita beralih ke seting lokasi di Westchester New York tahun 1944. Disini kita akan menyaksikan sebuah adegan dimana seorang anak kecil bernama Charles Francis Xavier tidur lelap di atas kasurnya, ia lalu terhenyak kaget ketika mendengar suara mencurigakan datang dari arah dapur. Kontan Charles Xavier beranjak dari ranjang untuk memastikan suara apa itu? Setibanya di dapur ia baru tahu, ternyata ada maling kecil yang menyusup ke rumahnya untuk mencuri makanan.
Pencuri tersebut tak ubahnya seorang Mutant bertubuh biru dengan kemampuan mengubah wujudnya seperti siapa saja, layaknya iblis yang mampu berubah wujud dan menyamar. Tapi jika diperhatikan lebih detail lagi, ternyata lantai dapur di rumah Xavier tersebut memiliki motif yang sudah tidak asing lagi, yaitu “Checkered Floor” alias lantai hitam-putih ciri khas Freemason yang selalu menjadi motif lantai dalam loji tempat mereka “beribadah”.
Lantai hitam-putih dalam keyakinan Freemason diyakini sebagai simbol persilangan dua alam, yaitu alam nyata dan alam gaib, atau lebih tepatnya; antara alam manusia dan alam jin (al-tsaqalain). Lantai hitam-putih acap kali disisipkan dalam perfilman dan konser musik. Dalam adegan kali ini, terlihat jelas bahwa Xavier –sebagai manusia– tengah “bertemu” dengan Raven, sebuah makhluk bertubuh biru yang dikesankan seperti jin.
Albert Pike, seorang Freemason derajat-33 dan juga pendiri gerakan rasialis KKK (Ku Klux Kan) menyatakan bahwa Freemason hampir seluruhnya diasaskan oleh Kabbala. Artinya, ritual kaum Mason tak kan jauh dari praktik sihir berikut simbol-simbol warisan paganisme Babilon dan Mesir kuno. Motif “lantai hitam-putih” juga digunakan pada adegan ketika Erik –yang telah dewasa– berada di sebuah bar di Villa Gesell-Argentina ketika mencari Sebastian Shaw.
Dan jika kita kembali lagi ke kamar Xavier persis sebelum adegan pertemuannya dengan Raven, maka perhatikan apa yang terdapat di atas meja di dekat ranjang Xavier. Di situ terdapat tiga buah foto, dan penulis yakin, setidaknya publik sangat akrab dengan dua wajah dari ketiga foto itu, yang satu sebelah pojok kiri adalah Charles Darwin, dan yang sebelah pojok kanan adalah Albert Einstein. Apa hubungannya dengan Xavier? Lantas, mengapa ada persamaan dengan nama depan mereka; “Charles” Darwin dan “Charles” Xavier? Dan apakah semua itu kebetulan?
Untuk ukuran seorang anak kecil, lebih cocok jika Xavier meletakkan foto kedua orang-tuanya di figura tersebut, karena sungguh janggal jika seorang anak SD meletakkan foto Darwin dan Einstein dalam bingkai foto privat seolah kedua orang tersebut adalah orang tuanya. Mungkin jika sepintas dilihat, penonton tidak terlalu memperhatikan foto tersebut, dan terbesit jika itu hanyalah foto-foto famili atau orang tuanya, namun sekali lagi, itu bukanlah foto keluarganya, lantas kenapa harus Darwin dan Einstein foto yang dipilih sang sutradara untuk diletakkan di atas meja Xavier?
Dari empat hal inilah setidaknya kita akan mengetahui pesan rahasia yang tersembunyi dalam film X-Men First Class ini, pertama adalah logo Heksagram (bintang David) yang mewakili gerakan Zionisme, kedua adalah lantai hitam-putih sebagai simbol gerakan Freemasonry, ketiga adalah Charles Darwin dan keempat adalah Albert Einstein. Hingga akhir cerita film ini, semua akan berkait-kelindan dengan empat unsur tersebut, saling berhubungan dan menuju kepada sebuah pesan subliminal yang dibisikkan secara halus ke dalam pikiran jutaan penonton.
Darwinisme; dari Evolusi Hingga Mutasi
Penulis akan memulainya dengan Charles Darwin terlebih dahulu. Mendengar namanya, seketika kita akan teringat tentang teori evolusi. Dan jika kita pernah belajar Biologi di bangku sekolah tentang adanya seleksi alam, yaitu pertarungan antar makhluk hidup guna mempertahankan spesis masing-masing, maka lupakan teori tersebut. Atau jika kurikulum yang kita pelajari dulu mencekoki kita tentang bagaimana manusia berevolusi dari kera menjadi manusia, maka buang jauh-jauh dogma itu dan jangan diwariskan kepada keturunan kita. Cukup sampai di sini kita ditipu mentah-mentah oleh teori Darwin ini.
Darwinisme sejatinya ingin menegaskan bahwa alam ini tercipta secara kebetulan tanpa adanyaThe Creator. Dalam kamus akidah Islam, kata “kebetulan” itu tak pernah ada, karena itu bertentangan dengan pokok Iman terhadap Qadha’ dan Qadar. Selanjutnya, teori Darwin ini kemudian menjadi filsafat materialisme dan rasisme yang diadopsi oleh Neo-Fir’aun semacam Adolf Hitler. Hitler beranggapan bahwa bangsa Aria adalah ras unggul yang paling berhak memiliki dan mengatur dunia. Maka jangan heran jika dalam film yang tengah kita kupas ini, berkali-kali ditampilkan simbol Nazi yang nota-bene adalah kendaraan Hitler sekaligus piranti untuk menerjemahkan filsafat Darwin dalam bentuk Perang Dunia-II.
Selain swastika Nazi, di sini juga dapat dijumpai simbol komunisme berupa “Palu dan Celurit”. Dan jika kita bahas tentang komunisme, lazimnya kita merujuk kepada penggagas komunisme itu sendiri yaitu Karl Marx. Dialah orang pertama yang memahami sumbangsih besar Darwin terhadap paham materialisme. Karl Marx menunjukkan simpatinya kepada Darwin dengan mempersembahkan karya terbesarnya “Das Kapital” kepada Darwin. Dalam edisi bahasa Jerman dari buku tersebut, yang ia kirim kepada Darwin ia menulis: “Dari seorang pengagum setia Charles Darwin”.Maka tak heran jika Karl Marx pernah berujar bahwa “Agama adalah candu”. Karena Marxisme sejatinya merupakam paham yang menolak keterlibatan agama dalam urusan dunia. Itu sebabnya, ajaran evolusi yang juga menafikan paham ketuhanan ini searah dengan jalur pemikiran Karl Marx.
Teori dan konsep evolusi secara vulgar ditegaskan dalam film ini, jelas tersirat dalam percakapan antara Erik dengan Schmidt (juga dipanggil Sebastian Shaw) –yang merupakan pejabat Nazi– ketika ia bertutur kepada Erik,
“Genes are the keys that unlocks the door to a new age, Erik. A new future for mankind. Evolution.”
(Gen adalah kunci untuk membuka pintu menuju era baru, Erik. Masa depan baru bagi umat manusia. Evolusi.)
Dalam scene tersebut, Sebastian memaksa Erik untuk mengeluarkan kemampuannya, memaksa Erik untuk menjadi pengikutnya, demi sebuah tujuan, yaitu membuka tata dunia baru (New Age) yang ia sebut sebagai “Evolusi”. Evolusi dalam tafsiran Nazi berarti merujuk kepada teori Darwin bahwa sebuah spesis yang unggul dan kuat untuk tetap survive harus membunuh spesis lainnya yang lebih rendah dan lemah. Inilah yang kemudian disebut sebagai “Teori Eugenetika”, yaitu membuang orang-orang berpenyakit dan cacat, serta “memperbaiki” ras manusia dengan memperbanyak jumlah individu sehat. Sebagaimana hewan jenis unggul dapat dibiakkan dengan mengawinkan induk-induk hewan yang sehat, maka berdasarkan teori ini, ras manusia pun dapat diperbaiki melalui cara yang sama.
Ideologi Darwin yang dianut Nazi terbaca jelas dalam buku Adolf Hitler berjudul Mein Kampf(perjuanganku), dimana Hitler termasuk golongan yang “terilhami” oleh teori seleksi alam tersebut. Hingga pada rapat umum partai Nazi di Nuremberg tahun 1933, Hitler mengumandangkan bahwa:“Ras yang lebih tinggi memperbudak ras yang lebih rendah…”
Selain “Evolusi”, pada percakapan di atas juga disebutkan tentang “New Age” sebagai konsep masa depan umat manusia. di sini penulis akan sedikit menyinggung tentang hakekat “New Age” dan “New Age Movement”. Istilah ini digunakan sejak 1809 oleh William Blake yang menggambarkan era kedatangan kemajuan spiritual dan artistik. Gerakan New Age adalah gerakan spiritual Barat yang dikembangkan pada paruh kedua abad-20. Ajaran utamanya memiliki gambaran sebagai pemaduan kedua tradisi spiritual metafisik Timur dan Barat yang bertujuan untuk menciptakan spiritualitas tanpa batas atau dogma yang inklusif dan pluralistik (terbuka dan mejemuk). New Age juga menekankan bahwa pikiran, tubuh serta roh saling berkaitan, meyakini adanya suatu bentuk Monisme (realitas fundamental; mungkin itu Tuhan, jiwa atau materi) serta kesatuan seluruh alam semesta.
Menurut penulis Nevill Drury, asal-usul gerakan ini dapat ditemukan pada abad 18 dan 19, terutama melalui karya-karya esoteris Emanuel Swedenborg, Franz Mesmer, Helena Blavatsky dan George Gurdjieff, yang meletakkan beberapa prinsip filosofis dasar yang kemudian mempengaruhi gerakan ini. Beberapa elemen gerakan New Age awalnya muncul di abad-19. Seperti dalam gerakan Metafisis semacam Spiritualisme, Teosofi dan New Thought. Dan dalam gerakan pengobatan alternatif seperti Chiropractics dan Naturopati. Gerakan-gerakan ini memiliki akar di berbagai tradisi esoterik atau okultisme (ilmu gaib) Barat, seperti seni hermetik astrologi, sihir, alkimia, dan Kabbalah.
Dalam kesimpulannya, kita akan mengetahui bahwa New Age adalah semacam keyakinan yang bersifat plural dan general. Hal tersebut tergambar jelas dalam deskripsi konsep Theisme yang mendefinisikan Tuhan sebagai gagasan abstrak bersifat umum yang dapat dipahami dalam banyak cara. Sedangkan dalam konsep hubungan interpersonal, penganut gerakan New Age mengakui secara penuh kesetaraan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan. Dan mengakui segala jenis orientasi seksual seseorang baik heteroseksual, homoseksual (gay/lesbian) hingga biseksual. Sama halnya dalam masalah gender, apakah seseorang tersebut cisgender, transgender, atau interseksual yang semuanya ditujukan sebagai sarana pengembangan spiritual.
Puncaknya, kita akan mengetahui hakekat New Age dari konsep “Eklektisisme”nya yang menyatakan bahwa spiritualitas New Age dicirikan oleh pendekatan individu untuk praktek spiritual dan filsafat serta penolakan doktrin agama. “Eklektisisme” sendiri adalah upaya untuk melakukan pilihan serta penggabungan antara beberapa bagian dari bermacam-macam aliran dan corak dari filsafat. New Age Movement sepintas mungkin terdengar rumit, tapi inti daripada gerakan ini adalah penolakan terhadap segala jenis agama dan dogma dengan merobohkan tembok pembatas antar akidah dengan cukup memaknai hidup secara esensial saja.
Di Indonesia, gerakan seperti ini terwujud dalam beberapa pokok dogma seperti Liberalisme-Pluralisme-Sekularisme. Karena dalam asumsi mereka semua agama itu sama. Shalat itu yang penting esensinya yaitu dzikir dan ingat kepada Tuhan dan tidak perlu menggunakan ritual semacam ruku’ dan sujud. Pada konsep selanjutnya mereka juga menciptakan produk bernama “Fikih Lintas Agama” yang merupakan kajian absurd karena memaksakan adanya “Fikih” di setiap agama. Padahal jelas, Ilmu Fikih itu sendiri hanya dimiliki Islam, lantas bagaimana mungkin tercipta sebuah “lintasan” multi-agama jika terma Fikih sendiri tak pernah dikenal oleh non-Muslim?.
Baik, itulah gambaran singkat tentang New Age. Selanjutnya kita akan kembali mengulas percakapan antara Sebastian dan Erik, yaitu saat Sebastian Shaw menegaskan kepada Erik,
“It’s a simple thing I ask of you. A little coin is nothing compared to a big gate.”
(Ini hanya perkara sederhana yang kuminta darimu. Koin kecil tak ada apa-apanya dibandingkan pintu gerbang yang besar).
Dalam percakapan ini Sebastian mengungkapakan kata “Big gate”. Sebuah “Gerbang Besar” yang akan mengantarkan umat manusia kepada New Age, atau lebih tepatnya New World Order dengan cara evolusi, bertarung, membunuh, dan bertahan. Ini berhubungan erat dengan adegan-adegan selanjutnya, tentang Depopulasi Penduduk, tentang pemusnahan ras manusia secara massal. Hanya saja di paragraf ini penulis ingin kembali menyoroti tentang kata “Big Gate” tersebut.
Dalam film-film Hollywood lainnya, kesan “Big Gate” sering ditampilkan dengan dua buah menara kembar. Bahkan selain lantai hitam-putih, “dua tiang” atau “menara ganda” juga terdapat di altar loji para Freemason.
“Dua tiang” yang disebut dengan Boaz and Jachin ini juga diyakini sebagai representasi dari The Gate of Solomon Temple.
Namun dalam film ini, Big Gate lebih dikesankan sebagai gerbang menuju Tata Dunia Baru, untuk membukanya seseorang harus rela berkorban dan memberikan tumbal. Tapi pengorbanan kecil tersebut tak sebanding dengan kenikmatan yang akan diraih nanti tatkala Gerbang tersebut terbuka. Dalam adegan ini, “Gate” hanya digambarkan dengan sebuah pintu kaca sederhana. Lalu, setelah Sebastian membunuh ibu Erik –sebagai tumbal– dan mampu memancing Erik mengeluarkan kemampuan mutant-nya, ia pun mengajak Erik memasuki “dunia barunya” seraya berkata,
“Outstanding, Erik! So we unlock your gift with anger. Anger and pain. You and me, we’re going to have a lot of fun together.”
(Luar biasa, Erik! Kita telah membuka bakatmu lewat amarah. Amarah dan rasa sakit. Kau dan aku, kita akan banyak bersenang-senang).
Jika kita telah memahami hal ini, maka film-film Hollywood lainnya pun tak jauh beda karena di balik semuanya terdapat oknum yang sama, yaitu Freemason. dan mereka hanya mengubah sedikit bentuk gerbangnya sesuai dengan alur cerita, namun semua “Gate” yang ditampilkan menuju makna yang sama; yaitu mediasi penghubung antara dua dimensi atau kehidupan.
Kembali kepada teori Darwin tentang seleksi alam, doktrin ini cukup mendapat ruang yang luas dan berhasil merekrut banyak pengikut pada akhir abad ke-19 di saat masyarakat masih terbelakang dan “mudah dibohongi”, hingga akhirnya disadari bahwa seleksi alam tidak mampu mendorong terjadinya evolusi, akhirnya para penganut Darwinisme (kaum evolusionis) memunculkan konsep “Mutasi” dalam teori mereka di abad ke-20. Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada gen (DNA) makhluk hidup karena pengaruh luar seperti radiasi. Evolusionis menyatakan perubahan ini menyebabkan organisme berevolusi.
Akan tetapi, berbagai penemuan ilmiah menolak pernyatan ini, sebab semua mutasi yang pernah diketahui hanya menyebabkan kerugian pada makhluk hidup. Semua mutasi yang terjadi pada manusia mengakibatkan kelainan mental maupun fisik seperti Down Syndrome, tubuh pendek, atau penyakit lain seperti kanker. Dengan demikian, mutasi adalah kecelakaan genetis yang terjadi pada makhluk hidup. Sama halnya dengan segala jenis kecelakaan, mutasi hanya menyebabkan gangguan dan kerusakan. Itu artinya, evolusi melalui mutasi adalah hal yang mustahil.
Kisah X-Men sendiri adalah cerita tentang sekumpulan manusia yang terkena mutasi (Mutant). Para Mutant ini selalu menyembunyikan jati diri mereka agar terlihat normal. Namun anehnya, Mutant di sini digambarkan sebagai orang yang justru memiliki talenta dan kelebihan tersendiri, seperti dapat menghilang, memiliki telepati, dapat terbang, pengatur badai, memiliki tenaga magnet, dan seterusnya. Padahal, proses mutasi seharusnya menjadikan seorang Mutant menjadi cacat. Maka bukanlah kebetulan jika dalam film ini konsep mutasi kembali ditegaskan oleh Sebastian Shaw saat menunjukkan kemampuan mutasi Emma kepada Kolonel Hendry dalam kalimatnya,
“Magnificent, isn’t she, Bob? Genetic mutation, the evolution of Human Genome.”
(Luar biasa kan? Mutasi genetik, evolusi gen manusia).
Sebastian dalam cerita ini adalah tokoh antagonis utama yang ingin mengadu-domba antara Amerika dan Rusia agar terjadi perang antar mereka. Sebastian memiliki tiga mitra loyalis, di antaranya adalah Azazel, seorang Mutant berwujud red devil karena berkulit merah dan memiliki ekor yang runcing. Hanya saja ia tak bertanduk. Kata “Azazel” sendiri, merupakan sebutan untuk Iblis dedengkotnya setan yang menolak sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Jika kita rujuk kepada kitab-kitab tafsir –semisal karangan Imam al-Qurthuby, Ibnu Katsir dan Imam al-Thabary– kita akan mendapatkan atsar Abdullah bin Abbas yang mengatakan bahwa iblis sebelum melakukan maksiat ia bernama Azazel (عزازيل), namun ketika menolak perintah Allah, ia pun dilaknat dan disebut sebagai; iblis. Kata “iblis” secara linguistik berarti “yang terputus rahmatnya dari Allah”. Namun jika melihat indikator lainnya tentang kentalnya corak Darwinisme, penggunaan tokoh Azazel dalam film ini lebih ditujukan kepada penolakan akan penciptaan Nabi Adam itu sendiri.
Selain Azazel, Sebastian juga memiliki asisten bernama Emma. Seorang wania Mutant yang mampu membaca dan mengkontrol pikiran orang lain (mind control) layaknya kemampuan yang dimiliki Charles Francis Xavier (Professor X). Namun yang menarik adalah, istri Charles Darwin ternyata juga bernama Emma, dan putera Charles Darwin yang menulis buku “The Life and Letters of Charles Darwin” bernama Francis. Lagi-lagi kita bertanya, Apakah ini semua kebetulan? “Charles”, “Francis”, “Emma”? Lantas apa maksud di balik semua ini?
Merujuk lagi masalah mutasi, motif seperti ini sama persis dengan cerita rekaan Hollywood lainnya, dimana proses mutasi atau musibah yang menimpa seseorang justru menjadikan mereka menjadi super hero. Seperti kisah Peter Parker yang digigit laba-laba berdampak justru bukan negatif, tapi malah memberikan kekuatan laba-laba hingga bisa menjadi Spiderman. Atau Clark Kent yang terkena radiasi Crypton bukannya cacat tapi malah menjadi Superman. Memang benar semua ini adalah kisah fiktif, tapi sekali lagi, cerita bohongan tersebut berhubungan erat dengan konsep evolusi. Dan jika modus ini diulang dan terus diulang, maka secara perlahan publik dengan sendirinya akan membenarkan konsep mutasi-evolusi tanpa disadari.
Maka jika dipahami, film X-Men ini sebenarnya disokong oleh kaum evolusionis-materialis. Dan konsep dari evolusi –sebagaimana yang dituturkan Darwin dalam bukunya “The Descent of Man”– yaitu mengajarkan bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang sama. Para pengikut Darwin juga telah berusaha untuk memperkuat kebenaran pernyataan tersebut. Tetapi, walaupun telah melakukan berbagai penelitian, pernyataan “evolusi manusia” belum pernah dilandasi oleh penemuan ilmiah yang nyata khususnya di bidang fosil.
Tapi, meskipun kaum Darwinis tak pernah berhasil menyadurkan bukti ilmiah untuk membuktikan teori mereka, mereka sangat berhasil dalam satu hal; yaitu Propaganda! Mereka sangat ahli berbohong dengan menciptakan fosil palsu dengan mengkombinasikan antara tengkorak Simpanse dengan rahang manusia. Mereka adalah orang-orang yang ahli berkonspirasi dengan menciptakan “Pohon Evolusi Manusia” yang menggambarkan penjelmaan manusia dari kera. Dan mereka tidak hanya licik berdusta, namun juga mampu menjejali pikiran kaum cendikia dengan ideologi ini melalui institusi pendidikan dan kurikulum sekolahan.
Manipulasi gambar dan fosil hingga sekarang masih menjadi trade-mark Darwinisme. Dalam film ini, unsur tersebut ditampakkan secara jelas dalam ruang belajar Charles Xavier. Dimana Xavier berperan sebagai profesor muda dalam bidang genetik dari Universitas Oxford, sebuah Universitas kawakan dunia tempat melahirkan kaum intelek. Hanya saja yang ingin ditegaskan dalam film ini, bahwa Xavier adalah seorang Darwinis, dan teori Darwinisme adalah konsep ilmiah yang diakui kaum saintis terpelajar.
Roger Morneau, salah seorang mantan anggota perkumpulan rahasia penyembah setan dalam sebuah wawancara eksklusif –yang kemudian rekaman videonya diadopsi The Arrivals part-31 (The Great Deception)– membeberkan sebuah fakta mengejutkan terkait agenda yang dicanangkan secret society tersebut dalam upaya menghilangkan keyakinan terhadap Tuhan melewati teori evolusi. Roger dalam wawancara tersebut berujar, “…To destroy the bible without burning it through the theory of evolution.” (Memusnahkan bibel tanpa membakarnya yaitu dengan memperkenalkan teori evolusi manusia). Bibel sesat yang telah diselewengkan itu saja hendak diberangus ajarannya, bagaimana dengan Al-Qur’an yang masih orisinil serta di dalamnya terdapat hidayah dan hikmah? Tentu saja “penanggulangannya” akan lebih ekstra.
Roger kemudian menegaskan bahwa setan secara langsung mengajari Darwin perihal teori ini, seraya berkata, “Satan taught Charles Darwin personally in setting up the principles of the theory of evolution.” (Setan telah mengajari Charles Darwin secara langsung dalam membangun prinsip teori evolusi). Lalu ia mengukuhkan, bahwa setiap orang yang mengajarkan teori ini akan mendapat “hadiah” istimewa dari setan sendiri, “Anyone teaching the theory of evolution is considered to be a minister of that great religious system.” (Siapa saja yang mengajarkan teori evolusi ini, dianggap sebagai seorang menteri dalam sistem “agama” ini).
Kemudian untuk lebih detailnya, lihatlah materi yang dipelajari Charles Xavier serta cermatilah adegan saat Xavier membaca buku bahan thesisnya tersebut. Ia membaca,
“To Homo neanderthalensis, his mutant cousin Homo sapiens, was an aberration. Peaceful co-habitation, if ever it existed, was short lived. Records show, without exception that the arrival of the mutated human species in any region was followed by the immediate extinction of their less evolved kin.”
(Bagi species Hominian, sepupunya yang bermutasi, Homo Sapiens (manusia) adalah penyimpangan. Kehidupan damai bersama di antara keduanya, jika pernah ada, hanya berlangsung singkat. Catatan sejarah, tanpa terkecuali, menunjukkan kehadiran spesis manusia yang bermutasi di wilayah manapun akan diikuti dengan kepunahan spesis kerabat terakhir yang berevolusi).
Isi buku Xavier tersebut mengingatkan kita pada “pelajaran” tentang manusia purba yang ditemukan fosilnya di Mojokerto dan dinamakan “Pithecanthropus Erectus” atau sering disebut juga dengan “Homo Erectus”. Hingga di kemudian hari ditemukan tengkorak yang mirip dengannya di dekat desa Ngandong, yang juga terletak di lembah Bengawan Solo hingga dinamakan sebagai“Homo Soloensis”. Homo Erectus dan Homo Soloensis digambarkan sebagai manusia purba dengan peradaban primitif, kolot dan berfisik setengah kera. Padahal, dalam Al-Qur’an satu-satunya manusia kera adalah bangsa Yahudi yang melanggar perintah Allah kemudian dikutuk menjadi kera sebagai hukuman di dunia. Dan tentunya, mereka tidak berkembang-biak juga tidak mewariskan ke-Kera-annya kepada orang lain. (Lihat; al-Baqarah ayat 65, al-Maidah ayat 60 dan al-A’raf ayat 166).
Kajian “manusia purba” yang sama sekali tidak ilmiah tersebut menandakan bahwa Darwinisme telah mengakar kuat di bumi Nusantara sejak puluhan tahun silam. Dan ini bertentangan langsung dengan konsep dasar penciptaan manusia yang memiliki asal-usul dari Nabi Adam ‘alaihissalam.karena Nabi Adam semenjak diciptakan langsung diperkenalkan Allah dengan kosa-kata yang bahkan para Malaikat pun tidak tahu. Nabi Adam beserta Siti Hawa semenjak di Surga telah mengenal pakaian dan turun ke bumi pun dalam keadaan berpakaian. Keturunan pertama Nabi Adam, Qabil adalah seorang petani, dan Habil adalah penggembala. Yang artinya, mereka telah mengenal cocok-tanam dan ternak hewan. Manusia diciptakan dalam kondisi sempurna, berilmu, beradab dan bertuhan. Hingga zaman terus berjalan maka Bani Adam pun kian berkembang secara ilmu dan peradaban, bukan secara evolusi fisik ala Darwin.
Sejauh ini kita mampu membaca kemana arah film ini, dan dapat dipastikan bahwa aroma Darwinisme sangat kental dipaparkan dalam setiap adegannya. Lantas kemana ujung pangkal Darwinisme? Tidak lain semua akan berhenti pada “stasiun kemusyrikan” yang menyatakan bahwa dunia ini tidak diciptakan, melainkan terwujud dengan sendirinya. Tiada pencipta, yang ada hanyalah kebetulan semata. Oleh karenanya dapat kita terka dengan mudah apa maksud perkataan Erik dalam adegannya ketika mencari Sebastian Shaw,
“I’m looking for my creator.”
(Aku tengah mencari penciptaku)
Memang benar dalam cerita ini Erik “dibesarkan” oleh Sebastian. Kekuatan, kemampuan serta talenta mutasinya dikembangkan dan dibina oleh Sebastian. Itu sebabnya Erik menyebutnya sebagai “creator”. Hanya saja kata “looking for Creator” di sini lebih ditujukan sebagai cemoohan sinis dari kaum Darwinis untuk menyatakan bahwa Dzat Pencipta dan konsep penciptaan tidak pernah ada dalam kamus Darwinisme. Wallahu a’lam.
Dari pemaparan di atas akhirnya diketahui alasan sang sutradara memajang foto Darwin di kamar Xavier. Begitu juga dengan penamaan”Azazel”, “Charles”, “Francis” dan “Emma” menegaskan bahwa itu semua bukan “murni cerita” namun ada maksud di balik semuanya. Dalam film ini juga terdapat seorang tokoh Mutant bernama “Darwin” yang mampu memiliki insang dan merubah kulitnya menjadi batu. Hanya saja dia bukanlah pemeran utama sehingga tidak banyak diceritakan.
Setelah semua ini apakah kita masih menganggap ini semua sebagai “kebetulan” semata? Tentu saja tidak. Kita juga sadar, bahwa kemungkinan besar alasan sang sutradara menamakan tokoh pada film ini dengan nama-nama keluarga Charles Darwin, tidak lain sebagai penghormatan terhadap Darwin sekaligus ideologi materialis yang merupakan kredo bersama bagi kaum anti-Tuhan.
Bersambung Insya Allah…
0 comments:
Post a Comment